Senin, 18 April 2011

EKSPEDISI CIRAHAYU (Part I / 7 - 9 Maret 2009)

Perjalanan ini sebenernya bukan perjalanan dadakan seperti trek-trek sebelumnya. Kami sudah merencanakan hal ini sejak bulan November 2008. Ekspedisi yang sekiranya dilakukan pada 28 Desember 2008 sempat diundur beberapa kali (26 Januari 2009 dan 9 Februari 2009) karena kesibukan rekan-rekan anggota yang juga mahasiswa dan pekerja. Meski telah final untuk berangkat apapun yang terjadi, namun mental anak-anak sepertinya enggak sebesar nyali yang aku miliki. Karena tepat dihari yang ditentukan, yakni tanggal 7 Maret 2009 mereka tidak juga tiba.

Sempat tertahan cukup lama di stasiun Bekasi untuk menunggu kedatangan rekan-rekan dari Cirebon, Bandung dan Semarang. Karena memang dari awal Perencanaan, ekspedisi ini hanya diikuti oleh 4 orang. Meskipun banyak yang berminat, terutama aktivis dan mantan-mantan pecinta alam baik di sekolah maupun di kampus namun tidak semuanya bisa lolos seleksi. Karena gak sembarangan orang bisa ikut tim ini. Dalam setiap perjalanan melintasi rel, tidak diperkenankan (oleh kami) membawa banyak peserta. Terhitung dari sekian kali perjalanan umumnya hanya dilakukan oleh 2 orang. Meski tak jarang juga sendirian (seringnya sih begitu..) pernah juga sekali kami trekking berempat yakni sewaktu menelusuri jejak Jalur Jatibarang - Indramayu. Itupun aku merasa perjalanan tersebut tidak efektif karena sering tertahan akibat peserta yang kelelahan. Ditambah lagi saat itu ada 1 peserta yang memaksakan diri untuk ikut meski sedang tidak enak badan.

Oke.. balik lagi ke pokok bahasan kita. Setelah menunggu sekian lama (tepatnya terlalu lama) ternyata ketiga rekan TPRM yang lain tidak bisa hadir ke Jakarta. Ekspedisi yang seyogyanya start dari Jakarta Kota pada Pukul 5 sore malah melenceng dari jadwal semula karena waktu saya banyak terbuang di Sta. Bekasi. Karena takut tidak akan keburu jika aku ke Jakarta Kota dulu, maka start dialihkan ke Sta. Bekasi. Namun kereta yang dinanti ternyata Penuh berjubel penumpang. Aku yang membawa tas gede tentu gak akan bisa masuk kedalam. Namun PPKA Sta Bekasi menginformasikan kepada para penumpang yang tidak baisa naik Ka Lokal Purwakarta, masih bisa naik KA Patas yang ada dibelakang. Dengan catatan : berarti harus menunggu lebih lama lagi.

KA Patas Purwakarta pun tiba di sta Bekasi. Kondisinya agak lebih mendingan ketimbang KA Lokal yang ada didepannya. Penumpangnya tidak terlalu banyak (mugkin karena datangnya belakangan), sehingga aku masih bisa dapet tempat duduk bahkan untuk selonjor pun memadai.

Tak berapa lama (sebenernya sih lama) Kereta memasuki Stasiun Cikampek. Disana sudah ada KA Parahyangan (kalo gak salah KA 63) yang tertahan karena mogok. Sehingga tumben-tumbenan ada Parahyangan yang disalip Sama KA Ekonomi yang tiketnya Cuma 2.000 perak.

Tiba Di Sta. Purwakarta Pukul 20.35. Setelah mampir sebentar ke Toilet, segera aku menuju ke Ruang PPKA dan bertemu dengan petugas setempat untuk meminta tanda tangan dan stempel sebagai bukti bahwa aku nyampe di Sta. Tersebut.


START PWK 07032009 0909PM

Stempel pertama sudah saya dapatkan dan ditandatangani oleh Bapak Yunison. Tak lama setelah itu, aku pamit untuk trek melintasi gelap dan dinginnya malam di Jalur Purwakarta - Padalarang ini. Ya, inilah perjalanan nekad malam hari seorang diri yang kedua setelah Perjalanan terdahulu ke Lampegan – Sukabumi. Tentu saja ini bukan untuk uji nyali ataupun unjuk gigi binti gagah – gagahan. Tapi karena "wis tanggung gayane" alias sudah terlajur melakukan persiapan yang cukup matang yang tentu saja telah menguras tenaga dan biaya (plus beban mental jika ekspedisi ini gagal dibatalkan untuk yang kesekian kalinya).



Pukul 21.09 WIB aku sempatkan untuk berpose di Papan Nama stasiun sebelah selatan untuk kenang-kenangan lah…. Lagian tanpa foto, perjalanan ini tak ubahnya sebuah bualan belaka. Banyak para Railfans yang meragukan apa yang aku lakukan. Di forum semboyan 35 pun ada yang menyangsikan Perjalanan nekad ini. Tapi tak apalah… aku adalah orang yang cukup puas dengan apa yang aku alami, bukan pada apa yang kuperoleh. Jadi meskipun tak mendapat apa-apa (materi, pujian, sanjungan, dll) bagiku gak masalah. Karena dengan ketemu sama rel saja itu sudah sangat membahagiakan. Perlu diketahui, aku adalah Pecinta Rel Kereta Api, bukan pecinta Kereta Api. Cinta sih cinta, sama saja dengan kalian semua Railfans mania Indonesia. Namun mungkin kecintaan aku lebih condong ke Rel, Jembatan, Terowongan dan Stasiun kecil atau bahkan stasiun mati. Aku yakin semua railfans sangat mencintai dunia perkeretaapian. Dan sebagaimana keyakinan saya pula, mereka pasti punya caranya tersendiri untuk mewujudkan dan mengapresiasikan rasa cintanya, dan berjalan di rel, jembatan, melintasi terowongan adalah caraku untuk mewujudkan rasa cinta tersebut. Aneh mungkin, tapi apa mau dikata. Sudah terlanjur cinta !!!



Sebenernya sih ada alasan pribadi yang membuatku jadi seperti ini. Selain karena obsesi dan nekad. Namun tentu saja tidak akan dibahas disini karena ini menyangkut soal hati dan perasaan. Sensitiiiiiif….bangetZ…

Aku Punya Obsesi berjalan di rel Kereta Api sepanjang 10.000 km, namun belum terlaksana sepenuhnya. Kalo dihitung-hitung secara kasar mungkin baru terlaksana sekitar 400 km, masih jauh dari titik akhir. Tapi gak masalah kok, karena aku memang baru memulainya. Bukankah segala sesuatu memang harus diawali ?



ya.. Hobiku ini, aku menyebutnya sebagai 10% janji dan 90% nekat. Karena memang dari awalnya hanya berjanji Cuma untuk 1.000 Km saja. Tapi berhubung sudah menjadi kebiasaan akhirnya ketagihan untuk melakukannya lagi dan lagi. Bahkan aku naikkan dari 1.000 menjadi 10.000 km. Panjang sih memang, dan aku juga gak tau kapan kelarnya. Selama ini hambatannya adalah biaya dan Waktu libur. Karena dihari biasa aku kerja sebagai desain grafis di sebuah percetakan di Bekasi. Jadi kalaupun ongkosnya ada tapi gak ada liburnya ya repot… untuk melakukan perjalanan-perjalanan seperti ini aku perlu waktu libur minimal 2 hari. Karena setengah hari dibelakang biasanya aku pergunakan untuk istirahat sebelum aku masuk kerja keesokan harinya. Mudah-mudahan ada Pihak yang mau mensponsori (he..hee..) obsesiku yang nyeleneh ini, karena dengan begitu aku gak harus nunggu gajian dulu kalau mau mblusukkan ke luar kota.


230. itulah yang tertera di sebuah Pintu perlintasan yang terletak di sebelah selatan Stasiun Purwakarta arah Ciganea tepatnya di KM 103. waktu menunjukkan sudah lewat setengah sepuluh. Perlintasan ini di jaga oleh Bpk Sukarmin. Beliau sudah mengabdi selama kurang lebih 28 tahun. Sebelum sebagai Penjaga Perlintasan, dulunya beliau adalah Juru Penilik Jalan. Namun ketika ada yang pensiun, maka beliau pun pindah formasi menempati posisi sebagai Petugas Penjaga Perlintasan. Tapi perubahan formasi ini tidak serta merta merubah kesejahteraannya. Gaji yang minim disertai dengan jam kerja yang cukup menjemukan (bagiku) dengan tanggung jawab yang tidak sepele. Tapi apa mau dikata, mungkin sudah seperti itulah ketentuannya. Tapi itu bukanlah hal yang aneh di perkeretaapian kita, masih banyak Pegawai-pegawai lain terutama golongan rendah yang juga bernasib sama. Dulu sewaktu trekking ke lampegan Sukabumi aku sempat ketemu atau tepatnya mampir ke rumah Bpk. Entus Sutisna. Beliaupun tak beda jauh kondisinya dengan pegawai-pegawai Kereta Api lainyya. Beliau adalah pensiunan eks Kepala Stasiun Gandasoli Sukabumi yang sudah hamper empat bulan uang pensiunnya tidak turun. Bukan tanpa usaha, ia sampai mengurusi persyaratan dan kelengkapannya ke Bandung dan Bogor. Namun seperti di pingpong, ia akhirnya lelah karena untuk melakukan semua itu ia harus mengaluarkan biaya perjalanan ke kota-kota tersebut. Mending kalo ada hasilnya atau ada kepastian. Biasanya beliau hanya pulang dengan kekecewaan terhadap birokrasi yang dari dulu emang terkenal "njlimet". Untuk memenuhi kebutuhan beliau hanya mengandalkan uang kiriman dari anaknya yang ada di kota lain sembari berkebun untuk mengisi hari-hari tuanya bersama istri, anak dan cucunya.


Setelah berjalan cukup lama, selepas dari BH 348 aku disuguhkan pemandangan Rangkaian lampu panjang yang membentang dari utara ke selatan (atau bisa juga sebaliknya) ya.. inilah jembatan KA yang menyilang dengan Tol Cipularang dari arah timur ke barat. Tapi saya lupa mencatat nomor Bangunan hikmat ini. Mungkin sekitar BH 349 atau 350 lah…


Tidak seperti jembatan KA lainnya, jembatan ini terbuat dari beton sama seperti jembatan Ciganea dan Cisomang. Di sebelah kirinya masih ada ruang kosong. Mungkin ini dipersiapkan untuk pembangunan double Track Purwakarta – Ciganea. Berhubung kameraku hanyalah kamera pocket, aku tidak bisa mengabadikan pemandangan kilauan cahaya lampu sepanjang tol Cipularang ini. Karena setelah di jepret, yang tampak di LCD hanyalah kegelapan dengan bintik-bintik kecil cahaya. Jadi enggak keren kalo maksa di pajang disini.

Pukul 21.50 WIB, tiang sinyal Sta Ciganea sudah mulai tampak dari kejauhan. Akupun jadi lebih bersemangat meski lelah yang kurasa sudah tidak bisa ditawar lagi. Karena selain membawa perlengkapan pribadi, di tas gembelku juga berisi perelengkapan Team yang memang beban-beban ini akan dibagi rata. Namun karena aku trek sendirian, terpaksa aku yang bawa semuanya. Soalnya kalo aku tinggal atau di titipkan takut nanti malah berpindah tangan. Dalam hal ini aku sudah pernah mengalaminya sewaktu melintas Jalur mati Sukabumi – Cibeber. Waktu itu aku beristirahat di sebuah gubug yang ada persawahan. Begitu pagi menjelang kudapati isi tasku sudah berantakan dan kehilangan beberapa barang termasuk kamera yang raib digondol "kucing". Mungkin karena terlalu lelah sehingga aku tidur begitu pulas. Di tambah lagi karena aku habis mengkonsumsi obat flu yang menyebabkan kantuk. Lengkaplah sudah ….



Akhirnya Sampai juga di Ciganea. Waktu saat itu sudah menunjukkan pukul 21.57 WIB. Setelah jepret sana-sini untuk mengabadikan kesunyian Stasiun ini aku langsung bergegas menemui PPKA. Tepat pukul 00.01 WIB Lembaran Catatan Perjalanan Daftar Kunjungan Stasiun di tandatangani oleh Bapak Bambang Isnu sebagai PPKA. Stasiun Ciganea terletak di KM 109+635 dan berada di ketinggian 141 meter diatas permukaan laut. Kami berbincang cukup lama sambil menonton TV yang siarannya di kudeta sama semut.

Keramahan stasiun Kecil berbeda dengan stasiun besar. Disini para pegawai akan merasa sangat senang jika ada yang berkunjung. Entah untuk sekedar melihat-lihat, duduk-duduk di ruang tunggu stasiun (meskipun gak naik kereta) atau mengobrol ringan dengan mereka. Maklum, bertugas di stasiun kelas 3 yang letaknya terpencil membuat mereka kesepian. Sehari-harinya hanya ditemani oleh Telepon, dan Perlengkapan pemindah wesel. Tapi bisa jadi juga karena memang watak orang sunda yang terkenal ramah dan santun. Bahkan aku sempat beristirahat di Stasiun ini dengan nyaman. Pak Bambang menyarankan agar aku melanjutkan perjalanan keesokan harinya mengingat hari yang sudah melewati tengah malam. Segelas air putih dan Nasi seadanya menjadi sajian bagiku sebelum memasuki alam mimpi. Meski dengan sajian yang sederhana, namun karena berada di waktu dan kondisi yang tepat (Haus), menjadi santapan yang sangat nikmat sekali. Maklum sepanjang perjalanan aku tidak menemukan warung. Kalopun ada juga pasti sudah tutup.



Pengalaman ini sunguh berbeda ketika aku survey trek malam hari dengan Serayu dan mendarat di Sta Hall Bandung. Memang ini bukan Sta. KA Ekonomi, Penumpang KA Ekonomi dialihkan ke Stasiun Kiaracondong. Tapi kenapa keretanya berhenti disitu dan banyak orang yang turun? Karena waktu itu tujuanku adalah ke St. Hall, ya aku juga ikut turun disana. Tapi sesampainya di sana tepatnya di WC aku diawasi oleh Petugas Keamanan dan begitu keluar Toilet langsung "dipersilahkan" keluar. Padahal saya sudah meminta ijin untuk duduk-duduk selonjor (karena sepanjang perjalanan kami berdiri) sambil nunggu waktu beranjak pagi. Tapi apa yang terjadi? petugas itu ngotot menyuruh kami pergi dan menyatakan kalo "stasiun ini baru buka jam setengah lima pagi, jadi silahkan keluar dan kesini lagi nanti jam setengah lima…" tentu saja itu pernyataan yang sangat konyol mengingat saat itu masih pukul setengah dua dini hari, sedangkan cuaca yang saat itu sedang gerimis dengan intensitas sedang (tanpa gerimis pun memang sudah dingin). Belum lagi ulah beberapa "Kupu-kupu" malam yang berkeliaran di depan stasiun. Dengan pakaian yang minim dan rayuan menggoda berusaha untuk menjajakan "dagangannya" tapi tenang saja, iman dan "Imron" masih kuat dan godaan-godaan itu kami anggap sebagai angin lalu. Namun tentu saja kami masih kesal dengan perlakuan "saenake dewek" sang petugas tanpa mempertimbangkan hati nurani. Atau mungkin juga beliau ingin memperlihatkan kepada kami "suguhan" Pemandangan Kota Bandung di malam hari ??? ah entahlah, tapi apapun itu yang jelas kami sempat dibuat cukup kesal dengan tingkah polah para Wanita beneran dan Wanita "Jadi-jadian" yang berkeliaran di depan Pintu selatan.


Matahari Pagi Ciganea

Balik lagi ke Ciganea, Waktu menunjukkan pukul 5 pagi. Setelah menunaikan beberapa kewajiban, aku mempersiapkan diri untuk melanjutkan perjalanan dari Stasiun Ciganea menuju stasiun Sukatani. Aku ambil beberapa gambar Ciganea di pagi hari saat matahari baru keluar dari sarangnya. Cuma untuk koleksi pribadi kok.. sekalian untuk kenang-kenangan bahwa aku pernah nyasar sampe kesini. Oh iya, nagi yang baca artikel ini, maaf kalo beberapa gambar perjalananku diberi efek-efek yang mungkin jarang terdengar ditelinga. Antara lain: efek besi tempa, maggis busuk, empal gentong, godong boled, dll. Sengaja kulakukan itu agar perjalanan ini terkesan lebih artistic dan menyenangkan. [Jadi gak keliatan sengsaranya…:-) ]



Tepat Pukul 8 pagi aku pamit kepada Pak Bambang untuk menapaki peninggalan sejarah yang masih tersisa. Salah satunya adalah pondasi jembatan Ciganea yang masih utuh. Hanya saja relnya sudah di copot, jadi tinggal tiang penyangganya saja. Disana sempat ketemu dengan seorang kakek yang berjalan tertatih-tatih dengan bantuan tongkat berusaha melintasi jembatan ini. Tapi sepertinya beliau merupakan penyeberang yang cukup professional. Karena berjalan berlawanan arah dengan arah kereta yang melintasi. Jadi kalau ada kereta yang lewat, beliau langsung tahu karena Kereta datang dari arah depan. Tidak seperti korban-korban yang tertabrak kereta pada umumnya yang tidak tahu jika ada kereta yang meluncur dari arah belakangnya. Begitu sadar dan berusaha menghindar, time is over. Ketabrak deh…



Ciganea Baru dan Lama


Gongsol Ambrol





Tikungan-tikungan sepanjang jalur ini mayoritas menggunakan rel gongsol. Dan banyak diantaranya yang ambrol baut penyangganya. Mungkin udah enggak sanggup menahan beban dan momentum dari Lok dan Gerbong-gerbong yang melintasinya setiap hari. Dari sekian yang ambrol itu bahkan ada yang tidak ada bautnya sama sekali. Entah karena dicuri atau kenapa. Tapi yang bikin kenapa lagi adalah : Kenapa lepas dari Pantauan JPJ. Ataukah sudah dilaporkan JPJ tapi dibiarkan saja? Toh mungkin pikirnya yang ambrol hanya 1 diantara sekian. Ada juga bantalan kayu yang patah tepatnya di jembatan dengan nomor BHnya 365.

Mata Air Tugu 5




Mejeng lagi

Tapi ada yang unik di jalur ini yakni adanya mata air yang letaknya di pinggir rel dekat dengan Tugu Jarak bernomor 5. Jika di perkotaan kita mengisi air gallon di depot isi ulang atau membeli galon bermerk tertentu yang biasanya lebih mahal dari isi ulang, masyarakat disini mengisinya langsung dari pancuran yang dibuat swadaya oleh warga setempat. Murah, tanpa takut kena sakit perut. Yang membuat mereka berani mengkonsumsi air tersebut tanpa dimasak lagi adalah mata airnya yang keluar langsung dari kaki bukit dan disalurkan dengan sebatang pipa bambu. Disisi kanannya terdapat semacam alas bilik yang biasa dipergunakan untuk mencuci pakaian. Akupun tak ketinggalan untuk mengisi ulang botol-botol air mineral yang isinya tinggal sedikit. Dan tentu saja satu hal lagi, Facial alias cuci muka . Biar wajah tetep seger. Maklum, matahari sudah mulai terik.


BH 372

Berdasarkan informasi yang aku peroleh dari warga yang sedang mengisi galonnya, bahwa di depan sana tepatnya di bawah jembatan BH 372 terdapat warung. Ya, saking semangatnya sampe-sampe lupa untuk beli sarapan sewaktu di Ciganea. Namun saying, diwarung ini tidak menjual nasi. Hanya ada mie rebus dan mie goreng saja. Tapi tak apalah, seporsi mie rebus dan kerupuk sudah cukup untuk menambah jumlah kalori yang aku butuhkan untuk melanjutkan perjalanan.



Rasa penat sudah mulai terasa, mungkin karena matahari yang tepat berada diatas kepala. Flu yang aku rasakan dari kemarin tak juga mereda bahkan mungkin makin parah. Tapi aku masih punya sedikit tenaga untuk melanjutkan "kekonyolan" ini hingga ke Sukatani.

Mendekati Sukatani, cuaca sangat tidak bersahabat. Jika sebelumnya aku masih di teduhi oleh perbukitan, kini tidak ada lagi. Hanya hamparan sawah yang membentang di kanan - kiri rel. rasa-rasanya aku sudah tidak sanggup untuk melanjutkannya. Namun aku tak boleh nyungseb disini. Karena selain gak akan ada yang nolongin, juga karena enggak ada tempat yang enak buat pingsan (gubuk, rumah, pohon rindang, dsb) jadi perjalanan tetap kulanjutkan.

Dari Kejauhan terlihat tiang sinyal dan Palang Pintu Perlintasan Sukatani. Itu adalah pemandangan yang mebuatku makin bersemangat untuk berjalan. Mudah-mudahan ini bukan fatamorgana yang biasa terjadi ketika orang kepanasan melintasi gurun pasir. Ternyata ini adalah Tiang Beneran. Terbukti setelang aku pegang, ting ini enggak ngilang. Dan ternyata Stasiunnya juga stasiun beneran. Wah .. betapa senangnya hatiku beertemu dengan pemukiman dan tentu saja : MAKANAN. Akhirnya aku sampai juga di Stasiun Sukatani yang terletak di sebelah timur penambangan batu kapur, tepatnya di KM 116 +871. itu sebabnya tak heran jika udara disini begitu kotor dan panas, yang tentu saja membuat pilek ini semakin menjadi-jadi. Sebagian besar mata pencaharian penduduk setempat adalah bercocok tanam. Itu sebabnya dinamakan Sukatani alias suka bertani. Lain halnya dengan nama desa di Indramayu yang mungkin sebagian besar juga masyarakatnya Khawatir melulu sehingga pada akhirnya dinamakan desa Sukamelang (melang = cemas)

Di Stasiun Sukatani saya berjumpa dengan Bapak Iwan Somantri. Kami sempat mengobrol panjang lebar kali tinggi mengenai pengalaman masing-masing. Kondisi kesehatanku makin menurun, cuaca memang sudah tak lagi terik, namun sepertinya akan turun hujan besar Karena awan di sebelah selatan sudah begitu tebal menyelimuti bumi. Setelah mencari sinyal handphone (maklum CDMA), segera aku mengabari jika aku sudah berada di Sukatani dan kujelaskan kondisi kesehatanku. Atas saran dari beberapa rekan, ekspedisi ini aku hentikan sampai disini. Dan berencana untuk pulang kembali ke Jakarta dengan Argo Gentong ke Purwakarta baru setelah itu naik odong-odong ataupun Parahyangan. Namun ternyata tekadku jauh lebih kuat ketimbang kesehatanku. Lagian aku piker, hari ini dan besok masih libur. Jadi aku masih punya waktu 2 hari untuk menjelajahi rel Jakarta Bandung atau apalah yang masih berhubungan dengan rel.

Akhrinya, setelah mengingat, menimbang dan memutuskan, akun lanjutkan perjalanan ini. Namun tentu saja tidak lagi dengan berjalan kaki. Melainkan naik KA Argo Gentong ke Padalarang. Tapi mungkin karena sudah menjadi kebiasaan, jika tidak membeli double tiket, aku selalu membeli tiket terjauh dari KA yang kunaiki. Maksud hati turun di padalarang, eh ternyata malah kepengen lanjut sampe Cibatu. Sampailah disana…


kerikil cibatu


Minggu Pukul 19.57 WIB KA Lokal Argo Gentong memasuki Stasiun Cibatu. Setelah sempat ambil beberapa gambar, Toilet menjadi pilihan utama karena memang meskipun Argo, tapi gerahnya bukan main. Argo hanyalah julukkan para Penumpang saja. KA Lokal ini yang sebenernya hanya kereta kelas 3 (atau 4 atau juga 5 barangkali).

Selagi aku mandi di stasiun Cibatu ini, kamu terusin aja mbacanya, asyik kok …
Oh iya, Jangan heran ya, meskipun tiket kereta ini murah, tapi tidak serta merta masyarakat sadar dan membeli tiket. Karena masih banyak dijumpai para penumpang yang 'Nembak diatas'. Memang kesadaran untuk membeli tiket (apalagi merawat sarana dan prasarana) masyarakat kita masih sangat rendah. Tanpa rasa bersalah mereka membayar "ongkos" cukup dengan 1.000 sampai 2000 perak. Bisa dibayangkan dong berapa kebocoran yang terjadi setiap bulannya jika dalam satu gerbong yang mebeli tiket hanya 60% nya saja. Tapi ini bukan urusan dan wewenang kami. Yang penting kami selalu tekankan kepada para Anggota TPRM untuk membeli double tiket untuk satu kali perjalanan. Setidaknya itulah yang masih bisa kami lakukan, dan tidak butuh apresiasi dari pihak manapun. Itu sepenuhnya murni budaya kami.

Aku udah selesai mandi nihhh.. Lanjutin lagi yuk ceritanya…
Setelah segar kembali (udah lebih cakep daripada yang tadi), aku melihat-lihat dokumen perjalanan termasuk Peta Jarak dan Peta Telekomunikasi Kereta Api yang sudah kupersiapkan sebelumnya. Sebenernya ada niatan untuk menjelajahi Jalur mati Cikajang. Tapi sekali lagi, aku hanya seorang diri, dengan kondisi yang setengah ngantuk setengah lelah.

Sambil selonjor-selonjor, aku membaca peta-peta yang kumiliki. Peta kuno dan peta Jalur KA yang pernah kubuat. Ternyata di jalur Cibatu – Banjar ada perbedaan antara Peta Kuno dan Peta Baru. Di Peta Kuno tertera Stasiun yang tidak terdapat di Peta Baru. Diantaranya : Malangbong, Trowek, Cihonje, Cibodas, Cirahong, dan Pamalayan. Dari sekian nama-nama tersebut ada satu yang membuatku penasaran. Yakni Trowek. Kenapa di Peta Baru tidak ada? Apakah mati? Atau….? Atau…? Atau apalah gitu. Setahuku, sepanjang trowek dan malangbong merupakan basis/ markas besar pemberontak DI/TII tapatnya di gunung Geber (Pelajaran SMP kelas 3). Dan pertanyaan-pertanyaan diatas hanya bisa dijawab dengan : MENELUSURINYA!

Tapi, kalo aku jalan dari Cibatu – Trowek rasanya gak mungkin, jaraknya sekitar 29 Km. yang jalur Purwakarta – Sukatani aja aku sudah megap-megap. Apalagi yang ini dimana kesehatanku udah tinggal setengahnya. Di buku jadwal yang kumiliki, pada stasiun Cibatu jam setengah dua dini hari ada KA Serayu tujuan Kroya. Ya, akhirnya kuputuskan untuk ke Trowek dengan Serayu. Posisi Stasiun Trowek sendiri berada diantara Stasiun Cipendeuy dan stasiun Ciawi. Dan seingat saya juga jika Serayu hanya berhenti di Cipendeuy dan tidak berhenti di Ciawi, kecuali yang dari arah timur atau ada Petugas/penumpang yang minta turun disitu. Tapi aku harus tertib, tidak boleh mengganggu Gapeka. Tiket Banjar pun kudapatkan. Tak berapa lama setelah aku istirahat, Serayu masuk Sta. Cibatu. Aku segera naik dan mencari tempat.

Wuih…. Panas !!! tapi ada wuih satu lagi, wuih… menakjubkan! Pemandangan pemukiman dengan hamparan kilau cahaya yang kulihat dari atas bukit. Ingin rasanya aku turun disitu. Tapi apa mau dikata. Aku tak boleh mengganggu Gapeka.


Cipendeuy

Pukul 02.10 WIB KA 172 Serayu tiba di Stasiun Cipendeuy. Maskipun aku beli tiket banjar, tapi karena tujuannya kesini ya aku turun Cipendeuy. Disini sudah ada abang-abang ojek yang siap mengantar penumpang ke desa-desa disekitarnya. Namun aku tidak segera beranjak dari stasiun ini karena banyak pemandagan (meskipun gelap) yang layak untuk di dokumentasikan. Diantaranya adalah Tulisan Cipendeuy yang menyala. Tidak seperti tulisan pada stasiun lainya yang hanya terbuat dari kayu bercat biru. Stasiun ini menggunakan Rangkaian lampu yang membentuk kata Cipendeuy. Sehingga dari kejauhanpun terlihat/terbaca karena huruf-hurufnya menyala terang diantara kegelapan di sekelilingnya. Ketika sedang mengambil gambar, ada ibu-ibu yang dari tadi memperhatikanku. Mungkin ia mengira aku ini wartawan atau sejenisnya. Saya sempat bertanya kepada beliau tentang angkot jurusan Ciawi. Ternyata pucuk dicinta ulam tiba. Ibu ini juga sedang menunggu angkot pasar yang biasa datang menjemputnya di Stasiun Cipendeuy. Ya, jam segini memang hanya angkot inilah satu-satunya angkot yang beroperasi. Angkot-angkot lain baru muncul sekitar pukul lima pagi. Penumpang angkot pasar ini umumnya adalah langganan yang merupakan para pedagang sayur. Rutenya pun tidak seperti biasanya. Sesekali angkot ini masuk gang untuk menjemput penumpang-penumpang yang lain hingga ke rumahnya. Namun terkadang ada juga langganan yang tidak pergi ke pasar. Untuk membedakan hal ini biasanya penumpang tidak memasang "cepon" atau Boboko besar di depan rumah/gang. Dengan begitu pak sopir tahu jika penumpangnya yang hendak dia jemput ternyata tidak pergi ke pasar (libur berjualan). Begitu juga sebaliknya, jika ingin dijemput, penumpang tak lupa meletakkan "Kode Sandi" ini di depan rumah/gangnya.


di Cipendeuy


Pukul setengah empat kurang, angkot sudah tiba di Pasar Ciawi. Setelah mengeluarkan Rp. 4.000 untuk pak sopir, aku bergegas memanggil ojek untuk minta diantar ke Stasiun Ciawi. Sebenernya jarak dari pasar ke Stasiun tidak terlalu jauh. Namun karena aku udah keburu manja, terpaksalah aku gunakan ojek, meskipun untuk itu aku harus mengeluarkan biaya lagi sebesar Rp. 3.000. tapi gak apa-apalah, itung-itung bagi rejeki.


Ciawi

Suasana Stasiun ini begitu sepi, dan tentu saja dingin. Ketika mau masuk ke Ruang PPKA, ternyata petugasnya sedang tertidur. Aku jadi gak enak untuk bangunin beliau. Aku paling gak bisa untuk bangunin orang. Karena aku juga sama, tidak suka kalo lagi asik tidur terus ada yang membangunkan. Mimpi jadi kepotong deh….

Sambil iseng-iseng menunggu pagi, aku ambil beberapa gambar stasiun ini dari setiap sudut. Ternyata apa yang kulakukan membuat beliau terbangun selain karena suara telepon. Setelah memberi aba-aba boleh melintas kepada kereta yang datangdari selatan, pak PPKA menegur aku yang main ambil gambar seenaknya tanpa minta ijin terlebih dahulu kepada beliau.

Waduh, gimana ya… abis tadi dia lagi tidur, mau bangunin gak enak. Ya udah akhirnya aku minta maaf dan menjelaskan jika ini hanya untuk koleksi pribadi karena aku railfans, bukan wartawan yang nyari gambar untuk tujuan komersil.

Aku masih tergoda untuk menelusuri jejak stasiun Trowek. Namun rasa lelah dan ngantuk sudah menjadi harga mati yang tidak bisa ditawar lagi. Tepat di depan stasiun Ciawi ada rumah saudaraku. Akupun berkunjung mampir kesana untuk beristirahat.

Setelah cukup istirahat dan bercengkrama, siang hari sempat diajak jalan-jalan k tempat-tempat sekitar Ciawi. Tak banyak yang bisa aku dapatkan disini selain cewek-cewek yang pada minta kenalan dan nomor HP (inilah resikonya jadi pria penuh kharisma. He..he..)


Beda Ketebalan

Perjalanan mencari jejak Stasiun trowek aku lanjutkan sore harinya. Jam 5 tepat aku start dari Ciawi... menyusuri bantalan demi bantalan rel sepanjang Ciawi - Trowek. melintasi jembatan Cibuka, cipamali, dan Binuang. di KM 244 sempat ketemu dengan seseorang yang mempunyai Jabatan yang aku Puja yakni JPJ. namanya pak Ino. Beliaulah yang memberitahukan jika St. Trowek tinggal 1 Km lagi. :hore: betapa senangnya setelah mendapat kabar tersebut. karena dari tadi sudah jalan jauh-jauh tapi enggak sampe-sampe.

cipamali


Cibuka




KM 244 +500


Longsor Kecil




Sinyal Model Jaman Baheula


Tiang Sinyal di Selatan Trowek

beberapa sinyal masuk sudah mulai terlihat & tampak bangunan rumah dinas sebelum memasuki stasiun. namun sesampainya di stasiun ternyata bukan stasiun Trowek yang aku dapati melainkan stasiun Cirahayu. lho kok..? ya ternyata stasiun Trowek telah berganti nama menjadi sta Cirahayu. Cape deh....



Maklum Kamera Pocket

Maklum, di peta resmi PT KA gak ada sta Trowek yang ada hanyalah Cirahayu. sedangkan di peta kuno yang aku punya ada. makanya sempat mengartikan kalo Sta Trowek udah mati/gak kepake. MAKANYA KU TELUSURI. Eh...ternyata cuma ganti nama doang kaya Malangbong yang sekarang jadi Bumiwaluya.




Ruang Kendali

Stasiun Trowek dulunya semacam stasiun pos untuk berjaga dari Pergerakan aktivitas DI/TII yang berbasis disini tepatnya di sebelah atas kearah barat. (barat apa kemana ya ? lupa waktu itu enggak liat kompas) di daerah ini pula dahulu terdapat pabrik aci/ tepung tapioka. Dan trowek sempat diramaikan dengan aktivitas bongkar muat komoditi ini. Namun semenjak pabriknya gulung tikar, aktivitas stasiun inipun menjadi ikutan sepi. Karena hampir tidak melayani perjalanan baik ke utara maupun ke selatan. Letaknya yang di dataran tinggi (619 mdpl) serta jalur tempuh yang Cuma jalan setapak yang terjal dan curam plus licin. Membuatnya jarang dikunjungi. Sewaktu masih di ciawi pun aku berencana untuk naik ojek dari sana. Tapi tidak ada yang mau dikarenakan kondisi medan seperti yang aku ceritakan tadi. Untuk bepergian, masyarakat lebih senang turun kebawah menuju jalan raya Tasik - Ciawi daripada ke sta Trowek. Pemberian nama Cirahayu sendiri aku kurang tahu mulai kapan. Namun yang jelas, oleh masyarakat Ciawi dan sekitarnya stasiun ini lebih dikenal dengan stasiun Trowek ketimbang Cirahayu. Dalam bahasa sunda, Ci biasanya diartikan sebagai air atau sungai. Namun didaerah tersebut tidak ada sungai Cirahayu. Ada juga Cipamali, Cibuka dan sungai Binoang. Lalu diambil dari apakah nama Stasiun ini mengingat jika diambil dari nama daerah/desa sangat tidak mungkin karena disitu tidak ada desa yang bernama Cirahayu. Ada juga desa yang agak mirip-mirip namanya. Tapi itupun letaknya sangat jauh di bawah kearah timur laut.



Lantas darimana ya…..? ada yang tahu… ?


Tapi dibalik kesunyian Trowek, disana asyik banget kok, hening, sejuk, cocok untuk weekend melepas kepenatan setelah sepekan beraktivitas dan bekerja


Sukatani-Padalarang masih jadi Utang. Akan kulunasi di waktu-waktu berikutnya.
Mau bergabung ?

Narsis dikit boleh yaKKKK????
Tiang Sinyal Ciawi



Catatan Lainnya :

- Menembus Gelapnya Sasaksaat
- Mblusukan Sejoli di Jalur Mati Karawang - Rengasdengklok
- Mengungkap Kebohongan "KISAH NYATA" Film Kereta Hantu/Setan Manggarai
- Narsisme Jembatan Cirahong

Tidak ada komentar:

Posting Komentar