Senin, 18 April 2011

MENGEJAR MAT - MAT


Cerita ini merupakan bagian dari EKSPEDISI JAKARTA - BANYUWANGI - JAKARTA berjudul MBLUSUKKAN TIADA TARA PART II selama 5 hari 5 malam ber-keretaapi.

ini bukan judul film yang dibintangi si manis Poppy Sovia. Tapi merupakan bagian cerita dari petualangan 4 Railfans asal Jabotabek yang sedang mendokumentasikan kisah ekspedisinya yg berjudul MBLUSUKAN TIADA TARA PART 2. Dengan Rute Jakarta – Bandung – Jogja – Solo – Surabaya – Jember - Banyuwangi – Malang – Kertosono – Semarang – Cirebon – Jakarta. Setelah sebelumnya PART I pata tanggal 18 juli dengan Rute Jakartakota – Cikampek – Haurgeulis – Jatibarang – Parujakan – Pekalongan – Plabuan – Kalibodri – Semarangponcol – Gundih – Solobalapan – Jogjakarta – Kutoarjo – Banjar – Tasikmalaya – Bandung – Bekasi dan berakhir di Gambir

Enaknya, kisah ini dimulai dari kota sejuta apel ajah ya? atau dari mana? punya ide lain? silahkan sms ke hapeku. atau kalian aja yang cerita, gimana? lho, khan pemeran utamanya EDAN SEPUR, ya kami dong yg cerita. ya khan?

oke deh, kuputuskan cerita ini diawali di kota MALANG.
Selepas beperjalanan mempromosikan Jargon SAVE OUR EART: Yuk Naik Kereta api, yang setengah finish di Stasiun Banyuwangibaru, kami melanjutkan perjalanan dengan Kereta Ekonomi TAWANGALUN dengan Relasi Bayuwangibaru – Malang, dan tiba dikota Apel Sekitar jam 2 siang. KA yang kami naiki selonjor di jalur 3 sementara di jalur 4 telah selonjor duluan Rangkaian KA141 MATARMAJA dan Rangkaian KA31 GAJAYANA.

Setelah sebelumnya mengatur strategi untuk kepulangan dgn KA141 MATARMAJA, strategi tersebut tidak perlu dibahas disini, karena selain akan memperpanjang, juga lantaran aku males ngetiknya karena pake hape.

KA Matarmaja dengan nomor KA 141 ini melayani Relasi Malang – Jakarta. Keberangkatan dari Malang pada pukul 15.00 dengan rute Blitar – Tulungagung – Kediri – Kertosono – Madiun – Solojebres – Semarangponcol – Pekalongan – Tegal – Cirebonparujakan – Jatibarang – Jatinegara dan diperkirakan sampai di Pasarsenen sekitar 09.01 WIB esok harinya.

Beberapa saat setelah menginjakkan kaki di kota ini, aku langsung menuju ke loket untuk membeli tiket KA EKONOMI ke JAKARTA. kalo sesuai rencana A. Ini adalah KA TERAKHIR yg akan kami naiki dalam rangkaian Ekspedisi MBLUSUKAN TIADA TARA PART 2. Namun kenyataannya? Baca aja terus ceritanya, asyik kok.

Menurut petugas loket, ternyata tiket duduk untuk KA141 sudah habis dipesan. Namun tepat disamping saya berdiri pria yang enggak cakep-cakep amat, dia nawarin tiket ke Jakarta yang tentu saja bertempat duduk dan LEBIH MAHAL. yupz, si berewok ini berusaha merayu sambil berbisik-bisik menawarkan jasanya. Sebenrnya, salah satu tujuan ekspedisi ini adalah “memahami lika-likunya Kereta Ekonomi”. Salah satu bentuknya adalah praktek percaloan ini. Untuk itu aku harus mengorek keterangan sebanyak-banyaknya dari orang-orang yang menawarkan jasa Penjualan tiket diluar loket resmi PT KAI.

Gimana ya caranya, Biar dia enggak curiga ? Aku tak kehabisan akal. Ibarat peribahasa pucuk dicinta ulam pun tiba, ide pun datang dengan segera. Ya, aku perlu tau, seberapa banyak modal/tiket yang dia miliki tiap kali beraksi. tapi aku perlu trik khusus biar di tidak curiga kalo aku jadikan BELIAU sebagai sampel.

Dia menawarkan tiket KA141 seharga Rp. 100.000 – 120.000. lebih mahal Rp 45.000 – Rp. 65.000 dari harga normalnya yang cuman Rp. 55.000. aku coba cari tahu lebih dalam lagi, saya bilang “aku perlu tiket sebanyak 10 lembar tapi aku minta diskon ya...soalnya saya sekeluarga, noh keluarga saya". Sambil menunjuk ke kerumunan penumpang yang sama sekali tak ada hubungan darah dengan saya. diapun menjawab, "saya cuman ada 7. tadi memang beli 15 tapi sudah laku, sekarang tinggal segini"

Wah, ternyata si berewok ini pada waktu-waktu tertentu seperti libur saat ini ia biasa minimal memborong tiket sebanyak 15 buah. jika tiket itu laku semua dan tiap tiket dia jual seharga Rp. 100.000 saja maka ia dapat keuntungan Rp. 675.000 namun ia tidak sendiri. saya penasaran, bagaimana ia bisa membeli tiket sebanyak itu tanpa dicurigai petiugas loket. Ternyata ia memakai jasa kurir. Dia menyuruh orang lain untuk membeli tiket sedikit demi sedikit beberapa waktu/hari sebelum jam/tanggal keberangkatan. Keuntungan yang menjanjikanlah yang membuat praktek percaloan ini semakin menjamur kuping. Terkadang saya heran, loket yang baru dibuka tapi kok hanya menyisakan tiket yang tidak seberapa atau bahkan habis. hal ini seperti yang dialami RF ketika mengadakan Bumiayu Railfans Gathering pada bulan april 2009 yang lalu ketika hendak memesan tiket KA144 GAYABARUMALAM SELATAN. untungnya aku dan Lukman datang lebih awal jadi masih dapat tiket. sedangkan Budi dan lainnya terpaksa harus ngambing karena tiket berdiri pun sudah habis terjual.

Balik lagi ke Malang. berhubung Mas Calo tadi tidak bisa memenuhi Permintaan pelanggan dan harganya terlalu mahal (alasanku pada dia, biar enak batalinnya) maka aku putuskan untuk membelinya di loket. waktu itu sudah tidak terjadi antrian yang panjang lagi. Di depanku hanya ada 2 orang. tiket pun bisa kudapatkan, namun ya itu tadi, TANPA TEMPAT DUDUK alias BERDIRI. Tapi ini bukan masalah bagi kami yang pecinta KA. Malah seringnya setelah dapat tiket duduk, bangkunya malah diserahkan kepada orang lain, sedangkan kitanya sendiri malah keasyikan menikmati pemandangan dari pintu ataupun bordes.

Setelah tiket didapatkan, kami bergegas menuju gerbong ketiga paling belakang Rangkaian KA141. Kami rapihkan semua barang bawaan dalam satu bagasi. Masih ada beberapa waktu untuk mengecharge baterai hape dan berfoto-foto. Tak ingin mengulangi kesalahan di MTTP I, Armi dan aku telah menyiapkan Colokan Cabang biar enggak berebutan lagi pas mau menambah daya baterai. Alhasil, dengan ide ini kami mampu menampung 9 charger sekaligus.

PPKA stasiun malang mengumumkan jika Rangkaian KA141 Matarmaja Tujuan Pasarsenen Jakarta segera diberangkatkan. Kami langsung buru-buru mencabut charger yang dicolok bersamaan lantas segera mencari penumpang yang mau diajak foto bareng dengan kami sebagai kenang-kenangan dengan warga kota Malang.



Setelah semua kegiatan akhir selesai dilakukan, semua anggota Edan Sepur menyusul mas Widi yang sudah stand by di dalam kereta. Tepat pukul 15.00 KA141 meninggalkan Stasiun Malang. Stasiun ini berada di ketinggian 444 mdpl pada kilometer 49+234 dan termasuk dalam territorial Daop VIII Surabaya. Penumpang yang naik di stasiun ini beragam, mulai dari golongan ekonomi menengah kebawah, golongan kelas eksekutif, maupun golongan ekonomi sulit karena menurut pengakuan beberepa penumpang yang kami tanyai banyak juga yang menjadi penumpang tanpa tiket. Namun umumnya untuk jarak dekat saja.

Nasi bungkus dan beberapa cemilan tak lupa kami samber berhubung sejak tadi enggak mikirin makan saking keasyikannya bercengkerama dengan objek-objek perkeretaapian. Untuk menambah kesyahduan, aku makan di dekat pintu. Disana sudah ada budi di sebelah kiri dan armi di pintu sebelah kanan. Dari sinilah mungkin cerita MENGEJAR MAT – MAT ini mendapat ilham. Begitu Rangkaian berbelok dengan kecepatan yang meninggi terdengar suara guprak dari arah pintu sebelah kanan. Namun aku tidak begitu ngeh dengan suara itu. Budi yang juga mendengar, bertanya “Apaan tuh gief?”. “Enggak tau Bud…” jawabku. Namun beberapa pedagang dan pengamen yang berada di pintu gerbong dibelakang memberitahukan pada kami jika ada benda yang jatuh dari gerbong yang team naiki, akupun melongok ke pintu dan …… Rasanya lemas sekali kakiku melihat kameraku jatuh. Kamera itu dipungut oleh pemuda setempat yang kebetulan sedang nongkrong dipingiran rel. sungguh tak percaya dan rasanya seperti mimpi. Hampir saja aku menangis menyaksikan hal itu terjadi. Karena perjalanan sudah melewati trip akhir yakni tingal kepulangan saja ke Jakarta. Antara percaya dan tidak, aku langsung berlari ke tempat anggota lain berkumpul dan bertanya pada Armi yang terakhir membawa kameraku. Dia menjawab jika kamera ada di pintu dan hancurlah petualangan ini. Semua data gambar ada di kamera tersebut. Aku tidak tahu jika saat Armi di pintu, disamping ada kamera yang sudah terpasang pada tripod. Armi masuk menuju kursi kami dengan meninggalkan kamera di pingir pintu dengan posisi tripod yang tidak fix/terbuka lebar.

Ekspedisi kali ini kami hanya membawa 3 Kamera Masing-masing punya kamera digital punya aku, Budi dan kamera Video punya KATV/ Mas Widi. Kamera budi sudah tidak bisa dipakai karena terjatuh sewaktu mengambil gambar di KRD Doraemon. Itu sebabnya harapan satu-satunya dokumentasi ada pada kameraku. Namun sepertinya semua petualangan ini akan menjadi petualangan hitam putih yang hanya bercerita panjang lebar tanpa gambar dan warna.

Antara Pasrah dan berjuang. Sempat terpikir untuk pasrah saja karena kecepatan KA makin meninggi dan juga jarak dari TKP sudah terpaut sangat jauh. Yah mungkin ini sudah takdirnya. Petualangan yang diakhiri dengan tangan hampa.

Tidak, aku tak boleh menyerah. Aku tak ingin dicemooh untuk yang kesekian kalinya karena membawa cerita tanpa ada gambar. Bagi mereka (Railfans) apa yang kulakukan dahulu tak ubahnya sebagai omong kosong alias bualan belaka karena tanpa disertai bukti kongkrit.

Tak ada takdir tanpa ikhtiar/usaha. Takdir memang ada ditangan TUHAN, tapi ikhtiar tetap ada ditangan kita. adapun nanti ikhtiar kita gagal atau tidak, minimal kita sudah memperjuangkannya sekuat tenaga. Ya, takdir hanya ada setelah ikhtiar maksimal. Tanpa ikhtiar, itu namanya pasrah.

Terasa kecepatan KA makin berkurang sekitar 15 – 20 KM/ jam dan tepat di pintu perlintasan sebelum memasuki Sta. Malangkota lama akupun meloncat diikuti Armi yang menyusul beberapa detik kemudian. Kami lakukan ini untuk memperjuangkan gambar-gambar yang sudah kami peroleh selama perjalanan dari Jakarta – Bandung – jogja – Surabaya – Banyuwangi.

Tak seperti biasanya, acara mblusukan kali ini disponsori oleh MKA dan KATV, itu sebabnya jika tak ada hasil yang dibawa ke Redaksi, itu akan menjadi beban moral bagiku. Meskipun mas Widi dari KATV meminta untuk memasrahkan saja dan Ekspedisi bisa diulang lain kali. Dan kamera bisa beli lagi, jangan mempertaruhkan nyawa. Namun tidak bagiku, kamera memang bisa dibeli, ekspedisi memang bisa diulang dengan personel, rute, rencana, dan judul yang sama. Namun moment yang sudah terjadi tetap takkan tergantikan. Dan keputusanku sudah bulat, Akan aku perjuangkan momen-momen yang berhasil diabadikan serta nama Komunitas Edan Sepur Indonesia di mata MKA dan KATV.

Begitu loncat dari KA, kaki kiriku terkilir mungkin begitu juga dengan Armi. Namun kami masih belum menyerah, kami langsung berlari menuju TKP. Tentu saja hal ini menjadi sorotan banyak orang khususnya para pengendara jalan. Bisa saja ada yang menganggap kami ini copet dan sebagaianya. Tapi kami tidak peduli, kami berlari dan terus berlari sekuat tenaga. Beberapa penduduk yang bermukim di pingiran Rel turut serta menyaksikan adegan ini dan beberapa diantaranya bertanya, “ada apa de?” kami jawab seperlunya saja “Kamera” dan kebingunganpun semakin menjadi-jadi di benak mereka sekenanya.

Aku dan Armi sempat terjungkal beberapa kali. Maklum, kami berlari pada permukaan yang tidak rata alias pada rel Kereta api sepanjang 1 petak stasiun atau sekitar 3 kilometer. Lari dan terus berlari.

“Run ! Run ! Run ! Run ! Go! Go! Go Fast ! Go!” itulah kata-kata yang terlontar secara spontan (uhuy !) untuk menyemangati diri sendiri dan juga rekanku, Armi. Aku jatuh enggak tahu berapa kali, mungkin sekitar 4 atau 5 kali. Begitu juga Armi yang sempat terpontang panting. Sepanjang PELARIAN, kami selalu sempatkan untuk bertanya “ada yang liat kamera?” aku sendiri tidak tau pasti dimana posisi kamera itu terjatuh karena hanya melihat sekilas saja.

Rasanya aku sudah tak sanggup lagi untuk meneruskannya, perutku melilit, karena habis makan dan belum juga minum harus berlari-larian di rel. Begitu juga dengan Armi, dia kelihatan kecapaian. Saat terjatuh untuk yang terakhir kalinya, tertunduk di tengah rel, Armi pun tak jauh beda, dia sudah tak kuat lagi, aku pasrah… jika memang ini sudah kehendak takdir, minimal kami sudah memperjuangkan takdir ini sekuat tenaga. Jika takdir tidak sesuai dengan yang diikhtiarkan, maka jalan satu-satunya agar perjuangan ini tetap bernilai ibadah hanyalah dengan tawakkal. Berserah diri dan menyerahkan urusan ini sepenuhnya pada yang Maha Kuasa.

Pedih rasanya tidak bisa mendapatkan kembali kameraku tercinta yang telah setia menemaniku kemanapun aku mblusuk berburu objek perkeretaapian baik di jalur aktif maupun di jalur mati. Entah keringat ataukah air mata yang jelas keduanya saling berlomba bercucuran meski tak sederas aliran kali ciliwung dikala banjir, namun cukup untuk membasahi sekujur pakaian yang kukenakan.

Sambil tertinduk kaku, lusuh, lemas, pasrah, tiba-tiba datang seorang seorang ibu yang usianya hampir mendekati senja. Dengan penampilannya yang sederhana serta senyum ramah, ibu ini bertanya “adek, mencari kamera ya?, itu ada dirumah ibu” sambil menujukkan rumahnya yang hanya berjarak sekitar 3 meter dariku. Wah… langsung muka kusutku berubah rapih dan ceria meski tanpa disetrika dengan pelican dan pewangi pakaian. “yang bener bu…..”
Kalo saja aku boleh pesan ke penata musik, maka aku minta adegan ini diiringi dengan lagu “Ku Bahagia”nya Melly Goeslaw. Langsung ibu itu aku dekap dan bersalaman dengan mencium tangannya. Beberapa tetangga yang tidak melihat schene ini dari awal tentu kebingungan, ada apa gerangan? Tapi ah sebodo amat, kami lantas menuju rumah beliau yang berada tepat disisi rel KA jalur Malang – Blitar. Mereka mengira kami adalah Mahasiswa yang sedang mengadakan penelitian/KKN ke suatu daerah dengan menjadikan Kereta Api sebagai objeknya, Soalnya salah seorang cucunya melihat isi kamera yang kebetulan kereta api semua. Lantaran tak mau berpanjang lebar, kami mengiyakan saja. Sambil sedikit menjelaskan kondisi kami dan berterima kasih dengan nada yang masih ngos-ngosan, lalu sang kakek meminta kepada salah satu angota keluarganya untuk mengambilkan air putih. Pemberian sederhana ini sunguh laksana oase di padang pasir. Bagaimana tidak, kami yang baru saja selesai makan, belum sempat minum, masih harus berlari menyusuri rel sepanjang kota Malang dengan sekencang-kencangnya.


PERJUANGAN BELUM SELESAI
Kamera sudah didapatkan kembali, kabar ini segera kami kirimkan ke team sudah menunggu perkembangan info dari kami dengan harap-harap cemas. Dan yang selanjutnya ada dipikiran kami adalah bagaimana mengejar KA141 yang sudah melaju jauh didepan kami? Akhirnya kuputuskan untuk mengejarnya dengan bis Malang – Blitar. Namun tak lupa sebagai ungkapan terima kasih kami kepada penduduk setempat, kami sempatkan diri untuk bergambar bersama. Sebagai kenang-kenangan jika suatu saat aku mengunjungi kota ini di lain waktu. Pengalaman ini takkan kulupakan selamanya.

Kami masih berlari untuk yang kedua kalinya menyusuri rel menuju ke Perlintasan terdekat. Di sekitar perlintasan sempat bertanya kepada pedagang tentang rute tercepat ke Blitar. Pedagang itu merekomendasikan untuk naik angkot “ABG”ke terminal gadang lalu melanjutkan perjalanan dengan Bus Bagong Jurusan Malang – Tulungagung. Jika cerita diatas kami ditemukan dengan kebaikan, maka disini pun masih ada satu kebaikan lagi yakni ada seorang pemuda setempat yang menawarkan jasanya untuk mengantarkan kami ke stasiun dengan motor bebeknya tanpa dibayar. Berhubung tidak keburu untuk mengejar KA141 yang sudah lepas Malangkotalama, sedangkan dia tidak hafal jadwal berhenti KA141 diseputaran Malang. Menurutnya, waktu tempuh ke blitar sekitar 2 jam. Kami berdua mengucapkan terima kasih atas tawarannya. Namun jarak yang cukup jauh membuat kami harus berpikir ulang untuk menerima kebaikannya. Akhirnya kami putuskan untuk naik angkot ABG menuju terminal gadang. Dari sini kami melanjutkan perjalanan dengan bus antarkota. Beberapa penumpang mengira kami sedang shhoting acara tertentu karena mereka kamera yang masih nyantol di tripod. Sarung tripodnya sendiri tidak tahu ada dimana, mungkin terbawa oleh angota team lain di KA141. Menurut warga, dibandingkan dengan ojek, bis inilah cara tercepat untuk menuju ke Blitar. Bus memang melaju sekencang-kencangnya. Apalagi pak supirnya kami panas-panasin jika kami buru-buru mengejar kereta ke Blitar. Entah berapa kecepatannya karena jarum spedometernya mati. Namun selagi ada keseempatan nyalib, maka bis ini akan nyalib senyalib-nyalibnya. Selama berada di dalam kendaraan, kami terus kontak dengan team dan mas Widi yang ada di KA, terutama soal posisi dan kilometer. Adegan kejar-kejaran ini Seandainya direkam dari udara mungkin keren sekali apalagi dengan backsound lagu ‘All the Small Thing’nya Blink 182.

Kontak dan terus kontak, baik via telepon, sms maupun update status Facebook. Budi yang notabene online tiada tara, selalu menguapdate posisi KA141 melalui dinding Facebooknya “KA Berjalan lambat masih tertahan semboyan 2A. Kejar ke Wlingi atau ke Blitar” itu adalah merupakan salah satu bunyi status yang dikirimkan Budi. Awalnya kami berada cukup jauh dengan objek pengejaran namun kecepatan Bus yang tiada tara ini menjadikannya semakin dekat. Saat KA141 telah masuk ke Sta Blitar, posisi kami sudah berada 1 petak dibelakang. Namun jarak dari Jalan Raya ke stasiun lumayan jauh dan memakan waktu. Sedangkan KA hanya berhenti beberapa menit di stasiun Blitar untuk menaikkan penumpang. Kami minta saran iuntuk turun di jarak terdekat stasiun dengan jalan raya. Akhirnya kami turun di Pertigaan entah apa namanya. Namun di sini ternyata tak ada ojek. Warga disana menyarakan untuk naik becak. Jaraknya mungkin sekitar 300 meteran. Tapi jika naik becak, berarti sama saja dengan kami berjalan, karena kecepatan becak untuk kondisi darurat siaga satu seperti ini sama sekali tidak bisa diandalkan. Daripada membuang wktu menunggu atau mencari ojek, kami putuskan untuk berlari. Inilah pelarian ketiga kami dalam cerita yang sama berjudul MENGEJAR MAT-MAT. Sambil berlari sekenceng-kencengnya tak lupa tengok kanan kiri kali aja ada ojek nangkring di pinggir jalan. Namun sepertinya ini sudah di set olah sang Sutradara, kami tak menemukan apa hingga Palang Pintu Perlintasan Kereta Api dekat Sta. Blitar. Kami masih melihat sang MAJA selonjor di Stasiun. Belum sempat istirahat, kami berlari lagi sekenceng-kencengnya dengan pontang-panting kami mengejar KA idaman Rakyat Kota Malang dan sekitarnya ini. KA mulai berjalan perlahan meninggalkan stasiun Blitar, kami terus mengejarnya. Ketika melintasi jembatan yang berada tak jauh dari tiang sinyal, aku hampir terjatuh disini. Armi yang tak biasa melintasi jembatan hanya bisa bergerak merayap menyebaranginya. Sedangkan aku yang berada di belakangnya tak bisa menyalib karena takut malah nanti akan membuat dia tidak stabil dan jatuh ke sungai dibawahnya. Sungainya sih tidak begitu dalam, namun jika salah satu dari kami terjatuh kesitu, tentu hal ini akan menambah waktu tempuh ke Stasiun. Dan benar saja, tali sepatu kananku yang sudah lepas sejak turun dari Bis, terinjak kaki kiri mebuatku jadi tidak stabil dan terperosok kebawah. Untung saja kaki kiriku nyangkut di tiang palang jembatan, bisa dibayangkan dong bagaimana ceritanya jika tak ada batangan besi itu, mungkin aku sudah terperosok kebawahnya dengan 1 kaki yang nyangkut diatas. Setelah kami berdua berhasil menyeberangi jembatan ini, KA sudah semakin jauh, tapi kami terus mengejar, namun kamera terjatuh untuk yang kedua kalinya karena sarungnya yang dikaitkan ke ikat pinggang terlepas. Mungkin inilah teguran agar “sudahlah, tak usah dikejar lagi karena sudah semakin jauh. Lebih baik istirahat saja”

Dengan langkah lunglai kami berjalan menuju peron stasiun Blitar, tak peduli dengan orang-orang yang sudah lebih dulu berada disana baik penumpang KA Gajayana maupun para pedagang, kami langsung merebahkan diri, terlentang di peron stasiun.

Terbangun sejenak sambil memperhatikan KA141 yang melaju di kegelapan dan makin tak terlihat, membawa serta kedua rekan kami dan mas Widi menuju Jakarta. Sambil melepas lelah, Kukirimkan Status terbaru facebook “Kepada Team ekspedisi MBLUSUKKAN TIADA TARA PART II, lanjutkan misi kalian. We will survive…”

Uang dikantong hanya tinggal Rp. 20.000 sedangkan sisanya berada didalam tas yang terbawa. Antara bingung dan senang. Bingung karena cadangan logistik sudah tipis sedangkan perjalanan masih jauh, dan Bahagia karena petualangan kali ini tak harus segera berakhir melainkan kami masih sempat lebih lama lagi bercengkrama dengan objek-objek perkeretaapian. Mas Widi Sang Produser KATV mengirimkn pesan singkat ke Hape kami berdua yang isinya sama ”Temui Pak Sukari, Petugas Stasiun. Saya titip uang Rp. 300.000 untuk kalian pulang. Selamat Berjuang !” diikuti dengan SMS berikutnya “Usahakan Naik KA31 Gajayana. Setelah tersusul, minta turun dan kalian bergabung dengan kami. Tetap semangat …”

Namun jika dengan KA tersebut, maka tiket hanya cukup untuk 1 orang saja. Sedangkan disini kami berdua. Lantas Pak Sukari berkenan membantu kami untuk membujuk Kondektur agar kami bisa naik sampai KA141 tersusul KA31 mungkin disekitar Kertosono - Solo. “nanti saya yang omongin ke kondekturnya, supaya kalian bisa pulang. Bayarnya sama dia saja langsung. Saya Cuma bantu ngomongin saja” namun ternyata pak Kondekturnya masih punya integritas. Dengan santun dia menjawab, “maaf saya tidak bisa bantu, besok saja ke Kediri dengan K3. Bisa berhemat, karena lebih murah, sekarang manfaatkan waktu untuk istirahat…”

Ya sudahlah, mungkin memang sudah diatur skenarionya oleh yang Kuasa jika kami memang harus bermalam tujuh belasan di kota Bung Karno. Inilah moment yang jarang aku dapatkan. Boleh jadi ini sebagai teguran agar kami lebih mendekatkan diri dengan jasa para pahlawan yang telah berjasa memperjuangkan Kemerdekaan Negeri ini.

Masih ada waktu hingga esok hari sampai KA Rapihdhoho berangkat dari stasiun Blitar. Lumayan bisa dipake untuk merasakan lebih jauh suasana kota ini di malam hari. Setelah membersihkan badan, kami bergerak menuju keramaian kota ini yang penuh dengan tukang cukur dan pedagang helm disana – sini (?) tapi kami bukan mau membeli helm maupun bercukur. Melainkan mengamankan data yang ada dikamera karena takut hal yang sama akan terjadi lagi seperti saat di Malang. Maka dari itu, warnet menjadi target selanjutnya selain Warung nasgor pingir jalan. Setelah semua itu selesai, lantas kami bergegas menuju Polsek setempat. Kami diterima dengan baik di Polsek Kepanjen Kidul dan bermalam disana. Petugasnya ramah. Tak hanya diijinkan menginap dengan nyaman, kamipun disajikan dengan menu makan malam/sarapan yang lezat. Sungguh tak enak kami menolak kebaikan ini, karena perut masih kenyang setelah menyantap Nasgor dengan lahapnya. Terima Kasih Pak Polisi, sudah membantu kami yang terlantar di negeri Orang.

Ada beberapa hal yang akan saya jadikan sebagai closing statement disini:

  • Pertama, Kita bisa Mempertahankan hidup dengan segala yang kita miliki, namun kita bisa menciptakan kehidupan dengan sesuatu yang kita berikan. Setidaknya itulah gambaran yang terbayang akan kebaikan warga kota malang yang telah menyelamatkan kamera kami tanpa pamrih sedikitpun.
  • Kedua : Berbuat baik bisa dilakukan dimana saja, kapan saja dan oleh siapa saja, Bahkah oleh orang yang tak berdaya sekalipun. Pengalaman ini mengajarkan pada kami jika ketidakmampuanpun tidak lantas menjadikan mereka tak mampu untuk berbuat kebaikan.
  • Ketiga : Tak selamanya musibah itu adalah bencana. Musibah kadang bisa menjadi anugerah. Tergantung bagaimana kita menyikapi dan menempatkannya. pada point ketiga ini saya bisa simpulkan jika Musibah sebenarnya adalah ladang amal untuk kita menambah pahala.


Kami tak menyesal dengan semua pengalaman ini. Kami menikmati benar perjalanan dan pemandangan berkereta api dengan segala suka duka dan lika-liku penumpangnya.

Aku cinta kereta apiku, apapun bentuknya.
Hidup Railfans !,
Hidup Mblusuk !,
Maju Terus Perkeretaapian Indonesia !

Album foto, mangga KLIK SINIH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar