Senin, 18 April 2011

MENELUSURI JALUR MATI KARAWANG RENGASDENGKLOK

Sumpah, aku paling enggak bisa kalo diminta untuk nulis yang beginian. Selain enggak tau darimana harus memulainya, juga lantaran keterbatasan pengetahuan binti informasi mengenai jalur sepur jaman mbiyen yang kali ini aku oprek. Namun mblusukkan ini ada sedikit yang berbeda dengan mblusukkan-mblusukkan sebelumnya. Kalo biasanya aku selalu hunting spoor bareng anak-anak TPRM maupun alone expedition, tapi sekarang hanya berdua bareng si Do’i. Aku sendiri enggak tau dia nyaman atau enggak ikut-ikutan turun gunung dalam rangka mblusuk ke jalur sepur. Aku sama sekali enggak bermaksud mengubahnya menjadi Railfans seperti yang diidamkan Railfans Cowok pada umumnya terhadap gadis pujaannya . Aku hanya ingin dia tahu betul bagaimana suka-dukanya mblusukkan. Ya, inilah kehidupan luarku. Syukur-syukur kalo dia mau memahami aktivitasku yang rada aneh ini. Disamping itu, ini adalah pengalaman pertama bagi dia mblusukkan dengan rute yang cukup panjang, dari kedunggedeh menuju RDK, dari RDK lalu menuju KW Via KBM – RWD - TSW. Jarak yang ditempuh kurang 40 KM (Soalnya memutar) Sebelumnya dia pernah menemaniku trekking jalur mati JAKK - TPK. Tapi itu juga jaraknya tidak seberapa, hanya sekitar 10 KM doang, dan rame-rame pula dengan RF lainnya. Dan belum lama, akhir bulan yang Mei lalu kami mengulang trekking jalur tersebut dalam rangka peringatan 1 tahun jadian. Ya, mungkin konyol, peringatan tahun pertama yang seharusnya ke tempat-tempat yang romantis atau ketempat wisata yang nyaman, malah diperingati dengan berpanas-panas ria trekking jalur sepur KPB – TPK – PSE.

Berhubung perginya sama do’i, tentu saja aku harus menyesuaikan peralatan tempur, aktivitas dan jam terbang mblusukkan. Kalo biasanya aku selalu membawa perlengkapan selengkap-lengkapnya, kali ini hanya membawa serta kamera pocket, tripod, dan beberapa baterai cadangan. Mungkin akan lebih enak kalo Mblusukkan ini disebut Blind Trekking. Karena tanpa panduan sama sekali.

Sungguh terasa menyiksa. Selain karena panas matahari yang begitu menyengat, juga karena ya itu tadi : MINIM PERALATAN. Setidaknya untuk mblusukan (apalagi jalur mati) perlengkapan yang diperlukan minimal adalah : Kompas, Peta (baik baru maupun Kuno), Buku Catatan, Alat ukur Jarak (minimal Meteran atau penggaris). Jika sebelumnya aku selalu dipandu dengan Peta, kali ini hanya modal insting ajah... rada sulit memang, namun naluri RF yang kuat cukup untuk dijadikan modal untuk menelusuri jejak-jejak sejarah perkeretaapian. Beberapa kesulitan yang ditemukan antara lain jika menemui persimpangan jalan. Kesulitannya tentu saja menentukan ke arah mana jalur tersebut berlanjut. Satu-satunya cara ya banyak berkomunikasi dengan penduduk setempat disamping mencoba mengingat-ingat isi peta yang diberikan oleh Chris (Argo Raung). Sempat beberapa kali salah mengambil jalan karena jalur ini mayoritas sudah punah sama sekali. Jika jalur mati yang lain masih bisa diketemukan dengan jelas sisa sarana dan prasarana perkeretaapiannya. Tidak demikian di jalur ini. Hal ini mungkin dikarenakan setelah dinyatakan non aktif (sekitar tahun 70an) semua sarana dan prasarana perkeretaapian dibongkar total oleh PT. KAI sendiri untuk dipindahkan atau juga dibesituakan (tapi konon beberapa diantaranya juga ada yang dimuseumkan). Nasibnya sama seperti jalur Mati BYH – STI di pojok barat daya Daop I Jakarta. Tak seperti jalur lain yang setelah nonaktif semua fasilitas tersebut dibiarkan begitu saja yang walaupun memang pada akhirnya ilang-ilang juga entah itu diembat untuk diloakin oleh warga ataupun terkubur tanaman beton produk pembangunan masa kini. Sebagai contoh, jalur mati CN – KDP di Daop III. Pada tahun 1996 masih ada Jajaran Rel, wesel, tiang sinyal dan bagunan Stasiun di beberapa titik. Salah satu diantaranya adalah Stasiun Jamblang, Cideres, Jatiwangi, Bongas dan Kedungbunder.

Oiya, kalo balik lagi ke paragraf-paragraf awal, disana ada kebingungan tentang darimana seharusnya catatan perjalanan ini diawali. Ya sudahlah, mungkin harus kuceritakan saja semuanya dari awal sampe akhir, biarkan cerita ini mengalir bagaikan air tanpa dibumbui dengan kalimat-kalimat hiperbolis.

PARAHYANGAN @ citarum bridge

Dari dulu, kalo main atau lewat Karawang aku pengen sempatkan diri untuk mengambil gambar Jembatan Citarum (Citarum ya?) disana ada jembatan berjajar empat. Dua diantaranya dipergunakan untuk Kereta Api. Sampai di TKP sekitar jam 11 siang. Dulu aku pernah tinggal di kota ini selama kurang lebih satu tahun yakni sewaktu menjadi siswa di SMP N I Karawang. Jarak yang terlalu jauh dengan rumah (Kutawaluya) mengharuskan aku untuk Indekost di daerah KP dekat Stasiun Karawang.
Oiya, Berhubung jalan tanpa arah dan gak hafal jadwal + Gapeka (gak dibawa sih...) motreknya juga untung-untungan. Ketemu, Untung. Gak ketemu, ya buntung.

Sudah terlalu lama aku nangkring di Pagar Jembatan baru yang terletak di sebelah utara Jembatan KA. Tapi tak ada satupun Kereta Lewat. Sampai pukul 12 siang bolong belum ada satupun sepur nongol. Aku putus asa dan hanya mengambil gambar jembatanya aja untuk pembanding dengan foto jembatan ini di masa lalu. Setelah beberapa gambar aku ambil, kami siap-siap berkemas menuju Perlintasan 134. tapi ketika hendak meninggalkan TKP, justru terdengar semboyan35. dari arah timur. Aku segera berlari sekenceng-kencengnya ke arah jembatan.

Kamera yang lumayan lemot untuk berada pada posisi Ready membuatku rada kesal akibat takut kehilangan momen. Saat dinyalakan, kamera perlu waktu beberapa detik untuk berada posisi siap take picture. Alhasil, kereta hanya terekam gerbongnya ajah...kepalanya udah nggelosor jauh tertutupi pepohonan dan genteng rumah penduduk. Tapi tak apalah, toh tujuan utama ke Karawang bukan pada Jalur Aktifnya. Tapi mblusukkan di Jalur mati … lanjuuuuutttt

Kambing di PJL

Di perlintasan 134 beberapa Gambar KA bisa didapat dengan mudah. Salah satunya adalah Kereta Idaman Masyarakat Tua dan Muda Baik Pria dan Wanita (lho ?) yakni : Odong-odong. Yupz, kereta rakyat dengan trayek lokalan JAKK – PWK ini, masih saja tetap seperti dulu, PENUH. Dulunya trayek JAKK – PWK ini diayani dengan KRD. Namun sekarang diganti dengan Rangkaian, sedangkan eks Gerbong KRD-nya sendiri aku kurang entah kemana. Padahal kalo menurut aku, gerbong KRD lebih enak ketimbang gerbong rangkaian. KRD pintunya lebih lebar sehingga penumpang naik turun dengan leluasa. Tidak seperti rangkaian yang pintunya sempit yang jika keluar harus terpaksa berdesakan dengan penumpang lain plus bahkan copet yang sudah standby dan memanfaatkan kondisi seperti ini untuk mencari mangsa.

Odong2 @ 134 kEDUNGGEDEH

Selain masalah keamanan, KA Rakyat ini juga identik dengan istilah Kambing alias penumpang tanpa tiket. Umumnya untung-untungan aja. Ketemu kondektur ya tinggal nembak Rp. 1000, gak ketemu ya enggak usah mbayar. Selain urusan tiket, KA ini juga dihiasi dengan pemandangan Kambingers yang berada dimana-mana, di lokomotif, di kabin masinis, di bordes (tp bag. Luar) dan tentu saja DI ATAP. Entah apa yang ada dipikiran mereka. Kereta masih belum berhenti, dengan santainya beberapa diantara kambing-kambing tersebut berjalan di atap kereta dan siap-siap turun. Inilah salah satu potret kehidupan perkeretaapian di negeri ini. Semoga menjadi perhatian bagi pihak-pihak terkait untuk mengatasi masalah klasik dunia persepuran Indonesia

BACK TO SPOOR !
KA Lokalan PWK berhenti agak lama di KDH karena penumpang yang naik turun kali ini cukup banyak. Selagi odong-odong sedang menaik turunkan penumpangnya, aku sempatkan untuk mengobrol dengan petugas penjaga pintu perlintasan. Objek pembicaraannya tentu saja adalah Jalur Mati Eks Peninggalan Krawang Stoomtram Maatschappij di jaman baheula. Setelah dirasa cukup informasi yang diperlukan, kami bergegas menuju stasiun Kedunggedeh yang berada tak jauh dari tempat ini. disana kami sempat dikira wartawan karena membawa kamera dan motrek sana-sini. Jagat semakin siang, kami tak berlama-lama di Stasiun yang lumayan panas dan terletak di Ujung timur Kabupaten Bekasi ini.

Rute Jalur KA Karawang Trem bermula dari Stasiun Karawang, kearah timur menuju arah Pasar Johar, lalu belok kiri sebelum perempatan johar ke arah Lamaran. Nah, di daerah inilah Jalur KWTR – RDK berpisah dengan jalur KWTR – WDS. Rute yang kearah wadas inilah yang cukup panjang, karena dari WDS masih terus berlanjut ke selatan hingga ke CKP via TLR. Tak hanya sampai disitu, di CKP jalur ini beriringan dengan jalur KA yang ada sekarang (Jakarta – Surabaya), Pangulah, Jatisari, Hingga titik persimpangan/pertigaan jalur Pantura yang menuju Cilamaya. Dari titik ini rel berlanjut ke arah utara via Jatiragas.

Pasar Rengasdengklok

Dari beberapa penjelasan diatas, tak semua jalur itu kami telusuri. Rute petualangan kali ini hanya seputar Jalur Karawang – Rengasdengklok. Itupun dengan perjalanan terbalik yakni dari Rengasdengklok dulu baru bergerak ke Karawang. Berhubung kami tidak membawa peta, agak sulit memang untuk menentukan titik awal darimana kami harus melangkah. Beberapa objek yang dulu pernah dicurigai sebagai objek perkeretaapian, justru membuatku semakin ragu mengingat jaman yang sudah sangat berganti.

MONUMEN KEBULATAN TEKAD

Monumen Kebulatan Tekad

Akhirnya kami memutuskan untuk memulainya dari Monumen Kebulatan Tekad Rengasdengklok. Disini kami sempat berbincang dengan beberapa penduduk dan tokoh masyarakat setempat. Kami berusaha mengorek keterangan tentang sejarah perjuangan masyarakat Rengasdengklok di jaman penjajahan. Peristiwa yang paling bersejarah tersebut diantaranya penculikan golongan Tua oleh tokoh-golongan muda. Di daerah inilah bung Karno “di amankan” oleh para pemuda sebelum memproklamirkan Republik ini. Pemilihan kota Rengasdengklok sendiri mungkin karena ada beberapa alasan diantaranya :
  • daerah ini tergolong aman karena di kuasai sepenuhnya oleh Tentara Republik.
  • Tersedianya bahan pangan yang mencukupi mengingat saat itu Karawang merupakan daerah lumbung padi .
  • dan tentu saja letak yang tidak terlalu jauh dari ibukota Jakarta .

Nah, ketika masuk topik inilah aku sisipkan beberapa pertanyaan-pertanyaan tentang Kereta Api (Trem) yang dulu pernah ada di daerah ini. Berdasarkan pengakuan mereka, dulu memang pernah ada jalur kereta api dari Rengasdengklok hingga ke Karawang, namun hanya kereta kecil mereka menyebutnya sebagai sepur trem (sebagian lagi menyebutnya lori/gotrok). Sedangkan posisi stasiun Rengasdengklok sendiri berada di sekitar jalan Berdikari yang pada saat sekarang ini sudah berubah total menjadi Pasar. Berhubung informasinya simpang siur tentang posisi pasti letak stasiun Rengasdengklok, Aku tak menemukan jejak apa-apa di pasar ini. Tak ada tiang sinyal, patok, rel, apalagi wesel.

@ KBM jalur Trem menuju RDK
ke kiri apa lurus ya ?

Dari Rengasdengklok kami bergerak menuju Kobakkarim (KBM) karena halte Babakanjati dan Pataruman (sekarang Pasar Baru) sudah sama nasibnya dengan Rengasdengklok, (kemungkinan) raib tak bersisa. Makanya aku lewati saja dan langgsung menuju KBM. Berdasarkan informasi sebelumnya yang aku peroleh dari Petugas Penjaga Perlintasan di Kedunggedeh, menyatakan jika di daerah Kobakkarim masih tersisa bangunan sarana perkeretaapian yang tergolong masih utuh. Bangunan ini tak lain adalah jembatan Kobakkarim. Lokasinya sekitar 1.5 kilometer ke arah timur Jalan Proklamasi di daerah Kalangsari. Tak sulit untuk menemukan situs ini karena memang jembatan ini masih digunakan hingga kini namun sudah berubah fungsi menjadi jembatan biasa yang dilalui oleh kendaraan bermotor. Bentuknya lumayan utuh, hanya saja sudah tak lagi menyisakan rel dan ciri-ciri perkeretaapian lainnya. Bantalannya pun sudah berganti menjadi jalanan aspal. Namun pondasi bawah masih mencerminkan dengan jelas jika itu adalah jembatan Kereta Api. Selain pondasi, juga kerangka bawah yang lumayan utuh dan tak diambil untuk diloak pada umumnya jembatan mati.
jauh-jauh dari kota udang cuman buat moto jembatan ini.

numpang Narsis dikit @ KBM Bridge

Pihak Departemen Pekerjaan Umum mungkin enggan untuk merubah atau mengganti jembatan ini mengingat biaya yang lumayan besar. Jadi cukup menambahkan pondasi alas besi beton dan kemudian dicor atau diaspal dan tak lupa di beri tedeng aling di kanan kiri seperti jembatan mobil pada umumnya. Mungkin tak banyak yang mengira jika jembatan ini dulunya adalah jembatan kereta api, bahkan oleh masyarakat sekitarnya sendiri. Disamping karena jalur ini sudah lama di nonaktifkan, juga karena jalur ini tak berbekas sama sekali. Keyakinan bahwa ini adalah jembatan Kereta api tentu saja karena Naluri Railfans ini yang berbicara selain karena beberapa cirri fisik yang aku jelaskan sebelumnya. Bagi yang masih ragu jika ini adalah jembatan KA atau bukan, tinggal bandingkan saja arsitektur jembatan mobil dengan jembatan kereta yang ada baik yang bangunan lama maupun bangunan yang ada sekarang. Umumnya jembatan Kereta api tidak terlalu lebar seperti jembatan mobil. Karena jembatan kereta api hanya memang diperuntukkan satu kendaraan yang melintas. Tidak seperti jembatan mobil yang sekiranya mobil bisa berpapasan diatasnya. Kalau memang tak mau dipusingkan dengan argument yang aku paparkan, kita lihat aja jembatan Citarum yang terletak di Perbatasan Kab. Bekasi dengan Kab Karawang. Disini ada 4 jembatan berjejer. 2 diantaranya adalah Jembatan Kereta api. Jika kita lihat, ternyata jembatan KA mempunyai ukuran Lebar yang lebih sempit di banding jembatan Biasa. Jembatan-jembatan ini merupakan produk pembangunan jalan raya Pos dari Anyer hingga Panarukan. Jembatan biasa yang berwarna kuning, masih dipertahankan bentuknya seperti saat pertama kali dibangun dulu, sedangkan jembatan yang sebelah selatannya adalah jembatan baru. Di Jembatan Citarum inilah kita bisa melihat dengan jelas perbedaan jembatan-jembatan yang peruntukkannya untuk Kereta api dan kendaraan biasa.
KBM Bridge dari Barat Laut


BACK TO KBM BRIDGE !
KBM Bridge tampak Depan
Kami sempat mengambil beberapa gambar dari berbagai sudut, maaf kalo ada beberapa gambar yang agak narsis dikit. Narsisme Railfans ini bisa dijelaskan secara sederhana, logikanya gampang aja, “MASA SIH UDAH JAUH-JAUH DATENG KE JEMBATAN INI TAPI GAK BIKIN MOMENT ATAU KENANG-KENANGAN ?” yupzz, kalo bukan sekarang, kapan lagi ? kalo bukan kita, siapa Lagi ? kalo gak Narsis, terus mo ngapain lagi?, kalo kalo kalo kalo dan seterusnya silahkan tambahkan sendiri sesuai selera sampeyan yang baca.

bagian atas KBM Bridge
Matahari bersinar agak tanggung, lala dan tinky wingky bersembunyi dibalik pohon. Eh salah maaf… ya, karena saat itu waktu menunjukkan sekitar pukul 15.30 WIBK (Waktu Indonesia Bagian Kobakkarim) agak sulit juga untuk mengambil gambar dari arah timur dan timur laut. Padahal dari sudut inilah angle yang paling pas. Tapi, daripada enggak dapet sama sekali, ya aku paksakan mengambil gambar dengan melawan sinar matahari. Sebenernya aku enggak mau dicekoki dengan doktrin fotografer pada umumnya yang sangat menomorsatukan faktor pencahayaan.
Numpang tenar
Bagiku kadang tanpa cahayapun gambar akan terlihat lebih natural. Itu sebabnya aku enggak terlalu ambil pusing ketika mblusukkan di malam hari maupun mblusukkan di musim hujan. Bagiku, yang terpenting adalah moment, kuantitas, dan originalitas. Sebodo amat gambarnya item juga yang penting enggak burem & masih bisa dilihat dengan mata normal tanpa bantuan mikroskop (lho…?),
karatan
Pernah ada RF yang bilang kalo gak bagus mblusukkan di musim hujan karena gambar yang diperoleh kurang maksimal. Namun pernah juga aku melihat foto hasil jepretan RF lainnya yang mengabadikan KA Barang yang melintas di Petak PWK – BD. Lokonya terlihat lebih garang, sangar dan natural.
Tugu Tanda Jembatan Model PU
Seolah-olah diibaratkan sebagai Sang Naga (ular raksasa) yang keluar dari bawah laut. Wuizzzz… keren abis. Coba bayangin jika gambar yang sama tapi dengan moment yang berbeda (tanpa hujan maksudnya), pasti pembayanganya jadi lucu, Sang Naga Keluar dari Laut Kering kerontang (wkekekekkekekk…)

KBM Bridge

Jadi kesimpulannya adalah,
  1. Kalo berniat mblusukkan ya mblusukkan lah… gak usah nunggu-nunggu waktu. Adapun memotrek atau tidak, itu pasal ke-tiga dari agenda Mblusuk.
  2. Memotrek bisa dilakukan kapanpun dan dimanapun.

So, Gak usah nunggu siang pas pencahayaan sedang maksimal. Tinggal sesuaikan saja alur cerita pengiring dari gambar yang kita ambil. Misalnya, seperti yang kulakukan ketika Uka-uka di Terowongan Sasaksaat pas tengah malam. Aneh dan iseng memang untuk melakukan hal ini apalagi hanya berdua saja, tapi akan lebih aneh dan iseng lagi jika kita tiba disana tengah malam namun baru bisa melintas setelah nunggu pagi hanya karena doktrin tadi: PENCAHAYAAN. Disamping itu, judul ceritanya masa jadi “Uka-uka siang bolong” ??, ini lebih aneh lagi dan lebih terkesan pengecut. Tentu pengambilan gambar terowongan di malam hari dimaksudkan agar kesan yang timbul lebih maksimal. Berhubung sebagian orang menganggap jika terowongan tersebut angker, maka aku berusaha untuk mengambil kesan angker itu dan mengabadikannya dalam sebuah gambar. Sama sekali tidak bermaksud untuk gagah-gagahan atau unjuk kebolehan memasuki dunia yang begituan. Tapi hanya untuk mendapatkan momen-momen langka yang jarang terjamah Railfans lainnya. Itu sebabnya hasil jepretanku jarang yang mengabadikan kereta, loko dll, karena moment seperti itu sudah banyak yang mengabadikan. Ada sih beberapa, tapi tidak sebanyak RF lain.

@ Jalur Trem KBM to RWD

Selain faktor momen, juga faktor tempat. Aku selalu berusaha menapaki tempat-tempat yang belum atau jarang di jamah oleh RF lain. Itu sebabnya aku lebih senang di lintas mati. Dan enggak semua jalur mati aku tertarik, apalagi kalo jalur tersebut sudah pernah dibahas oleh RF lain dalam sebuah forum beserta postingan gambarnya. Karena kalo aku terjun ke tempat yang sama, lantas apa bedanya gambarku dengan jepretan RF lainnya? Karena bisa saja salah satu mengklaim bahwa itu adalah hasil karyanya. Kalo sudah kayak gini, originalitas sebuah gambar dipertanyakan. Walaupun bisa saja di cek nilai metadatanya, namun tidak semua orang paham tentang hal ini.

Masih Kokoh ....
Waduh, sorry neh kalo ceritanya jadi melebar kemana-mana. Itulah aku, aku selalu bingung jika harus memulai sebuah cerita. Namun aku juga tidak bisa menghentikan jari-jemari ini jika sudah berada didalam cerita tersebut. Oke deh, balik maning neng Sepur !!
BH 15 @ di tengah sawah Sebelum RWD

Jalur Trem Karawang – Rengasdengklok hanya menyisakan beberapa jejak. Selain jembatan di Kobakkarim yang sebelumnya sudah dipaparkan, juga masih ada beberapa jembatan berukuran kecil (antara 1 – 2 meter) juga ada 2 jembatan lain yang ukurannya sekitar 20 meter. Satu diantaranya sudah dijarah warga baik besi maupun betonnya. Sedangkan satunya lagi hanya tinggal pondasi yang bagian atasnya dilapisi kayu-kayu dan tanah urugan. Jembatan ini masih dipergunakan hingga saat ini untuk kendaraan roda 2. Sedangkan kendaraan roda empat atau lebih tidak bisa melewatinya karena lebarnya hanya sekitar 1.5 meteran. Di petak antara KBM dan RWD, ada 1 jembatan yang pondasi betonnya masih utuh. Jembatan ini hampir sepenuhnya terbuat dari batuan dan beton khas bangunan jaman Belanda. Dari beberapa eks jembatan yang kami temukan, hampir semuanya tidak bisa kami identifikasi nomor bangunannya. Kecuali di Petak antara KBM-RWD ada satu jembatan yang terletak ditengah sawah yang pada satu sisinya bertuliskan “BH“ 15 alias bangunan hikmat nomor 15. Hanya inilah yang masih bisa dikenali sebagai jembatan kereta sewajarnya disamping juga masih menyisakan beberapa Rel berukuran kecil yang dijadikan alas jembatan dan patok di bagian tepi kanan-kirinya. Lebar penampang atas rel ini sekitar 4 cm dan penampang bawahnya berkisar 6 cm.
Rel Mini di tengah sawah Sebelum RWD
Jika diperhatikan, ukuran rel ini sama dengan ukuran rel yang pernah aku temukan di daerah Bayalangu, Gegesik, Arjawinangun, dan winong pada Jalur lori/gotrok yang banyak bertebaran di wilayah barat Cirebon. Model jembatannya pun tak jauh berbeda dengan jembatan Kiwerga.
Di Jarah Warga @ RWD

Melawa Matahari


@ RWD menuju TSW

Sisa jejak Stasiun/Halte Rawagede, sudah tidak bisa ditemukan. Namun menurut pangakuan beberapa Petani yang sedang menggarap sawahnya, Halte Rawagede terletak tak jauh dari tepi jalan raya. Jalur Trem di daerah ini bersilang dengan jalan raya yang ada sekarang. Lokasinya tak jauh dari Monumen Perjuangan Rakyat Rawagede yakni hanya sekitar 500 meter. Keadaan alam yang yang sudah berubah baik dari segi administratif maupun secara geografis benar-benar menyulitkan kami untuk menemukan jejak-jejak peninggalan jaman kolonial ini. Beberapa bangunan sempat kami curigai sebagai eks Stasiun Rawagede, namun ternyata bukan. Stasiun yang sebenernya sendiri sudah lama dirobohkan dan berganti menjadi pemukiman dan pekarangan warga. Hal yang sama juga terjadi di daerah TSW, dimana Halte TSW kini ditumbuhi Holtikultura dapur yang ditanam warga.
@ TSW : Patok Perumka/BPN
Di daerah ini kami menemukan beberapa patok bertuliskan Perumka di berbagai sudut tak jauh dari lokasi Halte TSW. Pada jamannya sekarang, halte TSW terletak di belakang Masjid Al – Amin, kira-kira 25 meter kearah barat laut. Di tempat ini, kami sempat berbincang dengan seorang kakek, beliau menceritakan tentang pengalamannya naik trem Karawang ini. Menurut beliau, saat itu untuk bisa naik trem ini, penumpang harus membeli tiket seharga 20 sen keti (entah berapa kalo di Rupiahkan sekarang). Namun, kecepatan kereta yang lambat, menjadikan kereta ini banyak di naiki kambingers alias Free Riders. Ya, ternyata, fenomena kambingers tidak hahya ada di DKI jaman sekarang tetapi sudah ada sejak jaman dulu. Untuk berhenti atau turun di tempat tertentu, penumpang tingal loncat saja, begitupun jika hendak naik, mereka tak perlu naik dari stasiun, tinggal menunggu di pinggir sawah atau standby di dekat jembatan dimana biasanya Trem berjalan melambat. Jika trem tiba, mereka tinggal nemplok aja. Simpel, Praktis, Murah
Hanya dilewati Kendaraan Roda 2

@ TSW Jalur Menuju RWD

Kapan mulai dinonaktifkannya jalur ini sendiri masih simpang siur, selain karena tidak adanya tempat resmi dari PT KAI untuk bertanya tentang hal ini, namun menurut kakek tadi, jalur ini mati sekitar tahun 1967 (Ada juga yang bilang pada tahun 1971). Akan tetapi yang pasti, ketika Peristiwa Gerakan 30 September, jalur ini masih hidup dan sempat dipergunakan beberapa anggota PKI yang kabur menuju Rengasdengklok. Menurut beliau, saat itu kereta dibajak oleh anggota PKI yang sedang diburu oleh TNI. Beberapa kali suara senapan sempat meletus di sekitar TSW – RDK.

TRAGEDI RAWAGEDE

Cerita yang paling terkenal di Jalur ini adalah tragedi Rawagede, dimana pada saat itu prajurit Belanda dikirim secara besar-besaran untuk menangkapi dan mengeksekusi penduduk pribumi. Jika di Film-film Dokumenter dari arsip Nasional RI, digambarkan tentara Belanda bergerak dari Stasiun Kranji ke Arah Karawang untuk terus ke Rawagede.

Oiya, Tragedi ini boleh jadi ini adalah pelanggaran HAM terbesar yang dilakukan oleh belanda selain juga Penjajahan selama 3.5 abad di Bumi Nusantara. Mungkin hal inilah yang menjadikan Belanda tidak serta merta segera mengakui Kedaulatan dan Kemerdekan Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus tahun 1945. Pemerintah Belanda masih bersikukuh jika kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 hanya diakui secara de facto atau secara moral, bukannya secara hukum alias de jure. Pengakuan Belanda secara de jure baru diberikan Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, tepatnya ketika penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS).

Hal ini menandakan bahwa Belanda ingin menghindar dari tuduhan telah melakukan kejahatan perang yang tentu hukumannya sangat berat, termasuk harus membayar kompensasi yang tidak ringan bagi korban pembantaian Prajurit Belanda. Yang anehnya lagi, pemerintah Belanda juga berdalih, kompensasi itu enggak perlu lagi diberikan lantaran sudah banyaknya turis Belanda yang berkunjung ke Indonesia disamping bantuan dalam bentuk hibah juga diseterakan dengan kompensasi untuk korban pembantaian Rawagede. Sungguh tidak masuk akal dan terkesan mengarang-ngarang cerita
Monumen Peringatan Tragedi Rawagede 1947


PERUNDINGAN RENVILLE
Dengan difasilitasi oleh Committee of Good Offices for Indonesia, pada 8 Desember 1947 dimulai perundingan antara Belanda dan Indonesia di Kapal Perang Amerika USS Renville sebagai tempat netral. Walaupun telah ditandatangani gencatan senjata dan selama perundingan di atas kapal Renville berlangsung, di Jawa Barat tentara Belanda dari Divisi 1 yang juga dikenal sebagai Divisi 7 Desember, terus memburu pasukan TNI dan laskar-laskar Indonesia yang melakukan perlawanan terhadap Belanda. Pasukan Belanda yang ikut ambil bagian dalam operasi di daerah Karawang adalah Detasemen 3-9 RI, pasukan para (1e para compagnie) dan 12 Genie veld compagnie, yaitu brigade cadangan dari pasukan para dan DST (Depot Speciaale Troepen) yang pernah dipimpin oleh Kapten Raymond Westerling.

Pada 9 Desember 1947, sehari setelah perundingan Renville dimulai, tentara Belanda di bawah pimpinan seorang Mayor menyerang desa Rawagede dan menggeledah setiap rumah. Namun mereka tidak menemukan seorangpun tentara Republik. Mereka kemudian memaksa seluruh penduduk keluar rumah masing-masing dan mengumpulkan di tempat yang lapang, kemudian mereka diintereogasi tentang keberadaan para pejuang Republik. Namun tidak satupun rakyat yang mengatakan tempat keberadaan para pejuang Indonesia. Nah, Perwira Belanda Eplek Enyes tersebut kemudian memerintahkan untuk menembak mati semua penduduk laki-laki, termasuk para remaja. Tragedi eksekusi di tempat (standrechtelijke excecuties) yang menewaskan sekitar 431 penduduk sipil ini hingga kini diabadikan pada sebuah Monumen Perjuangan Rakyat Rawagede.
Disinilah Letak Halte TSW berada. sekarang jadi Pekarangan Warga


KEMBALI KE SPOOR !!!
Jalur Trem KWTR – RDK sebagian besar berada di persawahan. Kecuali dari KWTR hinga TSW, jalurnya sejajar dengan jalan raya tepatnya disisi kiri jalan. Mungkin hal inilah yang membuat orang jaman sekarang tidak percaya jika dulunya di petak ini pernah ada jalur Kereta api. Bentangan pematangnya sendiri tidak terlalu lebar seperti jalur Kereta api pada umumnya. Maklum, ini hanyalah kereta kecil alias trem. Jadi sekilas pematang di persawahan sekitar KBM – TSW memang seperti jalanan sawah yang biasa dipergunakan petani dari dan menuju lahan garapannya. Beberapa penduduk lokal bahkan ada yang tidak tahu jika di wilayah mereka dulunya terdapat jalur Kereta Api. Wah benar-benar sejarah adalah hal yang gampang dilupakan selain utang dan kewajiban. Jika yang warga lokal saja banyak yang tidak tahu, lantas bagaimana dengan warga dari luar daerah? Bisa-bisa, makin kedepan, Indonesia makin lupa akan sejarah bangsanya. Padahal bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawan dan sejarahnya .

Sejarah sendiri saat ini sudah menjadi semacam indoktrinasi, sejarah banyak disalahgunakan untuk melanggengkan kekuasaan, sejarah sering dikambinghitamkan atas keterpurukan-keterpurukan yang terjadi saat ini, sejarah seringkali ditutup-tutupi demi sebuah kepentingan politik segelintir individu dan golongan. Jika kita kembali ke Masa SMA dulu, “YANG LALU BIARLAH BERLALU” Merupakan Pepatah yang paling dibenci guru sejarah. Waduh, gimana neh … ?

Masjid Al Amin TSW

Waktu sudah hampir Maghrib, kami beristirahat di masjid Al – Amin TSW. Seandainya saat itu aku pergi sendiri atau bareng dengan anak TPRM, mungkin penelusuran ini dilanjutkan hingga LMR, CNA dan berakhir di KWTR. Namun berhubung membawa serta anak gadis orang, ya aku harus tahu waktu dong. kalo enggak, bisa repot dimasa yang akan datang. Sisa 3 Halte, akan dilanjutkan minggu-minggu berikutnya. Ada yang mau gabung mblusuk ???

Sejarah adalah mimpi buruk yang harus dipelajari kemudian diperbaiki karena sejarah adalah sebentuk kearifan lokal yang harus dipersatukan jalan dan alur ceritanya. Mempelajari sejarah berarti turut serta membentuk sekumpulan kearifan menjadi budaya bangsa. Apa jadinya sebuah bangsa yang terlahir namun tak memiliki ciri khas budayanya. Kita harus bangga dengan tradisi dan keanekaragaman budaya bangsa kita (yang positif ya…) jangan sampai negara lain malah justru mengklaim bahwa budaya kita adalah milik mereka hanya karena kita menelantarkan budaya kita sendiri.

Demikian sekelumit catatan perjalananku saat mblusuk di jalur mati Jalur Trem Karawang – Rengasdengklok. Semoga dapat menambah wawasan tentang perkeretaapian Indonesia dimasa lalu. cerita ini juga sekaligus mengoreksi beberapa pernyataanku yang salah tentang jalur ini yang pernah aku posting di forum semboyan35.com

Salam semboyan35.


Widie In Action
Thanks to Widie yang sudah berusaha memahami aktivitasku sebagai railfans dan berkenan menemaniku mblusukkan .....













PELENGKAP ARTIKEL :
Peta Jaman Baheula

Untuk Resolusi yang lebih tinggi, silahkan Klik Disini !

6 komentar:

  1. umur saya sudah duapertiga abad, tapi masih samar teringat lori dan lok nya di stasiun karawang dan cikampek. apakah mungkin kembali? anda adalah bagian dari mereka mereka yang membangkitkan sejarah. terima kasih untuk cerita dan pengalamannya''
    a. susanto

    BalasHapus
  2. Olah gak ngajak2 aku. aku ikut donk mas :) S35

    BalasHapus
  3. Sebelum jembt kobak karim, jlur kereta blnda ini msh ada...mmbntang kurg lbh 1000 m, tp skrg brubah fungsi jd jaling berbantal beton..kalo lokasi eks staiun di pasar rdk...itu msh ada peninggalannya ...coba cek persis di kantor uptd pasar rengasdengklok...smg manfaat

    BalasHapus
  4. Saya waktu kecil suka jualan es mambo,es sabun dan kerupuk udang distatsiun rengasdengklok dibelakangnya ada pasar.dibelakangnya pasar ada terminal bis.sambilnunggu kereta api datang biasanya saya main kelereng bersama teman dipinggiran rel dekat pohon .albasi saya sering naik kereta api jika saya kekarawang atau kewadas.kalau kewadas saya turun dihalte cilewo ..jalannya lambat apalagi kalau melewati jembatn tinggi lambat sekali...banyak kenangan tentang kereta...

    BalasHapus
  5. Oh,ya saya selalu naik digerbong terbuka dibelakang duduknya belakang belakangan sama yang lainnya pasar statsiun rengasdengklok pasar yang paling
    luas sekarawang ...silahkan yg punya nostalgia tentan kereta api rengasdengklok.

    BalasHapus
  6. Coba seandainya jalur kereta RS dengkok di hidupkan lagi nostalgia masa2 kecil akan terbayang karena th 60an jalan Tanjung pura ke RSdengklok 4 jam karena jalanan ya ancur banget

    BalasHapus